Alasan Larangan Nikah Satu Suku di Minangkabau
Tabloidbijak.co - Dalam adat minangkabau terdapat suatu budaya larangan perkawinan atau disebut dengan “perkawinan pantangan”. Perkawinan pantangan adalah perkawinan yang dapat merusak sistem kekerabatan, yaitu yang setali darah menurut garis keturunan matrilineal atau sasuku.
Dalam terminologi adat Minangkabau, Sasuku atau sesuku atau satu suku artinya semua keturunan dari nenek ini ke bawah yang dihitung menurut garis ibu. Semua keturunan Niniek ini disebut “sepersukuan” atau “sesuku”. Kelompok sepersukuan ini dikepalai oleh seorang penghuku suku
Menikah dengan satu suku menurut ajaran
minangkabau bukanlah hal yang baik sehingga bagi mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi moral seperti dikucilkan dari pergaulan.
Beberapa alasan masyarakat minangkabau melarang perkawinan sasuku
diantaranya:
1. Pelopor Kerusakan dalam Kaum
Pernikahan sesuku dapat menimbulkan konflik besar.
Hal ini karena suami istri yang berasal dari sasuku yang artinya mereka badunsanak. Jika terjadi
perselisihan mereka akan mengadu ke orangtua masing-masing dan dapat menghancurkan suku. Seperti halnya negara yang lebih mudah hancur bila terjadi perselisihan antar rakyat daripada berselisih dengan negara lain.
2. Mempersempit Pergaulan
Mereka yang sesuku adalah orang-orang yang sedarah dan mempunyai garis keturunan yang sama yang secara turun temurun telah ditetapkan oleh tokoh dan ulama Minangkabau. Sehingga perkawinan sesuku ini tidak menciptakan perkembangan dalam tatanan keluarga atau suku.
3. Mengganggu Psikologis Anak
Jika perkawinan sesuku dilaksanakan maka akan tercipta konsekuensi adat, yaitu bagi mereka yang melaksanakannya maka tidak dianggap oleh kaum kerabat dan dikeluarkan dari masyarakat adat. Hal ini dapat menciptakan perlakuan rasis dan pengucilan yang berakibat pada terganggungnya psikologis anak.
4. Kehilangan Hak Secara Adat
Pasangan yang menikah sesuku dianggap di dalam sukunya dan tidak diterima oleh suku-suku lain di wilayah. Bagi laki-laki maka akan hilang hak
memegang jawatan (menjunjung sako) yang ada dalam sistem Adat Perpatih. Sedangkan bagi perempuan akan kehilangan hak atas segala harta pusaka suku.
5. Membawa Kerugian Materi
Karena telah melakukan kesalahan adat, pelaku pernikahan sesuku harus melakukan syarat-syarat yang ditetapkan dalam majelis yang diawasi oleh Ketua Suku. Untuk menerima mereka bergabung ke dalam ikatan keluarga dan suku maka pasangan tersebut harus menyediakan 50 gantang beras dan menghibahkan seekor kerbau atau lembu untuk mejelis, menjemput Ketua-Ketua Adat dengan penuh istiadat untuk menghadiri majelis, mengakui kesalahan serta meminta maaf di hadapan masyarakat khususnya anggota suku yang hadir.
Bahkan untuk menentang pelaksanaan perawinan sesuku, Kerapatan Adat Nagari kenagarian Koto Tangah mengeluarkan surat keputusan SK.04/KAN/KT/III/2016 tentang larangan kawin sasuku menurut adat yang berisi sebagai berikut:
Sehubungan dengan adat isitadat kita di minangkabau sejak zaman nenek moyang kita
dulu, yang sudah ada istilah antara bako jo anak pisang, rang semando jo mamak rumah, maka
oleh sebab itu Kerapatan Adat Nagari (KAN) telah melakukan beberapa kali persidangan, sehingga mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
1) Diminta kepada RT dan RW untuk tidak menandatangani surat menyurat kedua mempelai.
2) Diminta kepada KUA untuk tidak melegalisasikan administrasi surat menyurat kedua mempelai yang bersangkutan.
3) Diminta kepada mamak kaum kedua belah pihak untuk tidak melakukan prosesi adat, mulai dari maminang, manjapuik marapulai, memakai pakaian perangkat untuk kedua mempelai dan tidak boleh melakukan proses batagak gala marapulai.
Dan diharapkan kepada seluruh perangkat adat dalam Nagari Koto Tangah untuk bersama-sama kita mengawasi kawin sasuku ini, waaupun dalam agama membolehkan, tapi adat kita melarang sejak dahulunya.
Surat keputusan tersebut dengan jelas mengatakan sekalipun agama membolehkan namun adat tetap melarang dan menentang perkawinan sesuku. Tentunya hal tersebut menimbulkan polemik dalam masyarakat karena budaya minangkabau merupakan budaya yang kental dengan ajaran Islam sebagaimana tatanan budaya minangkabau yaitu “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang artinya adat berdasarkan syariat, syariat berdasarkan kitab Allah atau Al-Quran.
Dalam perspektif ajaran Islam, perkawinan bukan hanya urusan perdata, keluarga maupun masalah budaya, tetapi juga merupakan masalah dan peristiwa agama, sehingga perkawinan dilakukan untuk memenuhi perintah Allah dan Sunnah Nabi yang dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Nabi. Dalam ajaran Islam sendiri juga terdapat jenis-jenis perkawinan yang dilarang termasuk perkawinan dengan keluarga namun terdapat perbedaan dengan larangan perkawinan sasuku di Minangkabau. Untuk itu dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana perkawinan sesuku yang diperbolehkan dalam Islam dan apakah adat minangkabau telah melakukan pembangkangan terhadap syariah.
Tulisan ini dibuat berdasarkan studi yuridis normatif dengan mengkaji data sekunder berupa bahan-bahan ilmiah yang berkaitan dengan perkawinan dalan hukum adat minangkabau dan perkawinan dalah hukum Islam. (*)
No comments